Senin, 22 September 2008

KEMISKINAN, BUKAN RUU PORNOGRAFI

Dalam bulan Ramadhan ini, Pansus Pornografi DPR RI dan pemerintah, kembali sibuk mengurus rencana pengesahan RUU Pornografi. Proses yang berjalan kurang lebih 3 tahun dengan berbagai polemik, tidak mengendorkan semangat dari Pansus
Pornografi untuk terus melakukan pembahasan. Bahkan ditengarai sesegera mungkin akan disahkan. Hal ini kembali meminta perhatian khusus dari LSM/ormas yang sejak awal pembahasan memang sudah menolak. Para aktivis prodem, kembali disibukkan untuk berkampanye dan menyatakan sikap penolakan, sekalipun Pansus Pornografi menyatakan bahwa telah terjadi perubahan atas pasal-pasal yang dianggap diskriminatif. Begitu juga dengan media massa, kembali mengangkat berita seputar pro-kontra yang terjadi di parlemen maupun di masyarakat. 
Bahkan pada saat 21 perempuan miskin tewas mengenaskan setelah bersesak-sesak berebutan uang zakat, elit politik bergeming. Tetap saja moral dan ketelanjangan perempuan dianggap jauh lebih penting untuk diutak-atik, ketimbang kemiskinan massal yang dialami oleh perempuan dan masyarakat pada umumnya. Kemiskinan akut telah mengantarkan kaum perempuan masuk pada tragedi kemanusiaan. Tragedi yang selalu meminta korban dari ibu-ibu dan anak-anak. 
Gonjang-ganjing perekonomian dunia yang selalu dengan mudah mempengaruhi bahkan merubuhkan ekonomi Indonesia, merupakan realita ekonomi politik yang berada di depan mata. Pasar finansial yang berantakan, mata uang rupiah yang tidak stabil, yang terganggu akibat politik ekonomi regional/dunia. Termasuk pemilu presiden di Amerika Serikat yang akan digelar pada bulan November mendatang ini, suka atau tidak suka, akan berdampak langsung terhadap denyut jantung perekonomian Indonesia. Pertanyaannya, saat perekonomian kita semakin rapuh, dan akan berimbas langsung kepada rakyat, mengapa justru Pansus Pornografi dan pemerintah bersikukuh melanjutkan pembahasan substansi yang tidak penting, yang mengada-ada, dan mereduksi fitrah manusia .......? 
Elit politik, seharusnya tanggap dan peduli dengan tragedi kematian ibu-ibu miskin yang seringkali terjadi. Mati terinjak, juga mati bunuh diri bersama anak, menjadi peristiwa yang ’jangan-jangan’ sudah dianggap biasa saja, sesuatu yang given. Padahal kita tak dapat membohongi fakta sosial. Kematian terjadi, karena mereka dimiskinkan dan dihinakan, justru oleh negara! Lalu di mana Pemda dan wakil rakyat Pasuruan berada, ketika kaum perempuannya berdesak-desak, bertaruh nyawa dan harga diri demi uang 30 ribu rupiah ...? Apakah Pemerintah SBY-Kalla tidak terusik dengan kejadian ini..?

Peristiwa Pasuruan, selayaknya menjadi pegangan bersama, pemerintah, wakil rakyat, dan civil society bahwa kemanusiaan kita dan nasib bangsa berada di ujung tanduk. Adalah tugas para pejabat negara, ulama, pendeta, bhiksu, dan tokoh masyarakat untuk melindungi dan memakmurkan kehidupan kaum perempuan? Begitupun dengan para wakil rakyat yang telah memberikan mandat kepada Presiden SBY untuk menaikkan BBM sebanyak 3 kali, saatnya memulihkan hati nurani dan komitmen kepada kaum perempuan.  
Bangsa Indonesia adalah bangsa beragama, berbudaya, bermartabat dan beradab, kemerdekaan yang kita peroleh bukan berdasarkan hadiah. Kesepakatan Indonesia Timur bergabung dengan daerah-daerah lain menjadi Indonesia sekarang ini adalah kesepakatan yang tidak bisa dianulir dan direduksi, karena dibungkus oleh Pembukaan UUD 45 yang di dalamnya mengalir Pancasila sebagai fundamen berbangsa dan bernegara. Keragaman kultur, nilai, dan cara pandang hidup sebagai personal dan anggota masyarakat telah diakui secara historis dan ideologis. Dengan demikian, proses lanjutan dari bangsa ini tidak pantas disela dan dihadang dengan peraturan yang bertolakbelakang dari spirit kebhinekaan Indonesia. Pertanyaannya adalah moral bangsa atau penegakkan hukumlah yang harus dibenahi ? Dalih menjaga moral, tidak dengan menjadikan cara pandang/nilai, adat istiadat, dan tubuh perempuan sebagai ancaman. Bukankah kita sudah mempunyai UU Perlindungan Anak, KDRT, dan KUHP?

Jakarta, 19 September 2008