Sabtu, 08 Maret 2008

keterwakilan Perempuan dalam Konstelasi kepemimpinan nasional

Membaca judul di atas, yang dipilih panitia bagi saya dalam kesempatan ini, dengan segera menimbulkan keresahan dalam benak saya akan realita sosial-politik yang belum berpihak kepada perempuan. Sampai detik ini, peran perempuan dalam politik, masih sangat lemah. Sekalipun Pasal 27 UUD 45, telah menggariskan kesamaan warga negara di hadapan hukum. Konstitusi sebagai Grund Norm seharusnya menjadi rujukan bagi rakyat Indonesia, dalam memposisikan perempuan sebagai mahluk sosial yang harus dilindungi kepentingannya. Karena pada dasarnya, perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki, untuk merebut peluang di segala bidang hingga level kepemimpinan nasional.

Dalam era reformasi seperti saat ini, keinginan masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang menjunjung nilai-nilai demokrasi semakin menguat. Demokrasi yang tentu saja mampu mengartikulasikan hak azasi manusia yang dirumuskan secara universal, yakni hak untuk memperoleh kebebasan dan kebahagiaan hidup. Oleh karenanya, seluruh rakyat, baik laki-laki dan perempuan tidak dibatasi peluangnya untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan bangsa. Namun faktanya, hingga saat ini perempuan masih diposisikan oleh masyarakat sebagai sosok yang lemah, kurang mandiri, lebih memainkan perasaan, dan kurang rasional. Benarkah?

Budaya patriarki yang sudah turun temurun membuat mitos yang luar biasa di tengah masyarakat. Perempuan dikondisikan sebagai mahluk kelas dua dan menempatkan laki-laki sebagai do the best. Interpretasi umum tentang perempuan dalam tinjauan dogmatis membawa implikasi terbatasnya ruang dan waktu bagi pemberdayaan perempuan. Situasi yang kompleks ini, mengharuskan para aktivis perempuan di seluruh Indonesia untuk mendorong peran politik perempuan dengan merumuskan kuota 30%. Gagasan ini cukup genius, sekalipun pro kontra terjadi.

Adalah sebuah kenyataan manakala hendak memberdayakan perempuan dalam implementasi tidaklah semudah membalik tangan. Akses ke politik, masih harus diperjuangkan oleh perempuan sendiri. Dan hanya sebagian kecil perempuan yang memiliki akses dalam mengadvokasi dan memperjuangkan pembongkaran kultur patriarki.
Dalam upaya mendorong dan mengupayakan perempuan berpartisipasi aktif dan berperan sebagai penentu kebijakan di bidang politik, maupun pemerintahan, diperlukan berbagai upaya yang kongkrit untuk meningkatkan kesadaran, motivasi, kemampuan, dan dukungan semua pihak termasuk dari perempuan itu sendiri. Sehingga terjadi peningkatan keterwakilan dan partisipasi perempuan dalam Lembaga Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif, baik di tingkat pusat, propinsi kabupaten /kota dengan kualitas yang dapat diandalkan dengan jumlah yang signifikan.
Betapapun sulitnya menembus diiding tebal kultir dan dogma yang dipersepsikan, Seharusnya perempuan paham akan konstitusi dan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi kesetaraannya dalam berimaginasi dan berkiprah, Pasal 28, ayat 1 UUD memperkuat landasan hukum yang menjamin aspirasi dan partisipasi perempuan dalam bidang politik. Hal ini kemudian diperkuat dengan UU No.12/2003 tentang Pemilu dan UU no 32/2000 tentang partai politik. Namun demikian, hingga Pemilu 2004, Pemilu legislatif belum mencapai hasil yang direncanakan, untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di legislatif pusat dan daerah minimal 30%.n Keterwakilan perempuan di legislatif pusat hanya 11,09 %. Sedangkan anggota DPD sebesar 21,09% dari jumlah anggota keseluruhan. Untuk itu, harus ditingkatkan kemampuan pengetahuan, keprofesionalan, ketrampilan, dan peranan di berbagai bidang, khususnya bidang politik.

Penerapan kuota pencalonan parpol dalam Pemilu hanyalah sebuah strategi. Untuk itu, perempuan harus mampu meningkatkan potensi dirinya dan mengembangkan komitmen serta terus berjuang, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa dan negara. Sebagai contoh, dalam bidang politik dihasilkannya Affirmative Action, Pasal 65 ayat 1, UU Pemilu 2003, tentang keterwakilan perempuan minimal 30 persen di legislatif, adalah sebuah langkah maju institusi demokrasi, dalam mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Dan menjadi solusi bagi perempuan dalam menciptakan ruang dan kesempatan yang sama dengan laki-laki, yang selama ini tidak diakui oleh masyarakat, karena masih kuatnya budaya patriarki.
Jakarta, 28 Juni 2006

 
**Disampaikan dalam Simposium Nasional tentang Gender dan Dilema Kepemimpinan Perempuan, Tgl 28 Juni 2006 di Hotel Milenium, Jakarta.

sebuah catatan perempuan parlemen

memperingati hari ibu 22 desember 2005

Setelah mengalami peminggiran peran sosial, ekonomi, politik dan budaya pada saat rezim Soeharto berkuasa maka periode pasca kejatuhan Soeharto benar-benar dimanfaatkan oleh berbagai kelompok perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan. Wacana keadilan gender mulai didengungkan seiring dengan meluasnya gerakan demokrasi. Riuh rendah perjalanan rakyat Indonesia untuk mencapai demokrasi terus berlangsung. Jika pada tahun 1998, demokrasi dipahami sebatas samar samar maka kini secara perlahan-lahan gerakan demokrasi di Indonesia menjadi semakin luas jangkauannya dan gerakan perempuan semakin tinggi intensitasnya.untuk mempertegas posisi tawarnya.

Upaya perempuan untuk melepaskan diri dari hegemoni kultural kaum laki laki Kini pada masa Reformasi memasuki tahapan yang menentukan existensi perempuan, yang semula hanyalah tuntutan tradisionil diruang domestik keluarga sebatas tuntutan kesetaraan dalam status sosial ekonomi, tuntutan selanjutnya adalah perempuan sebagai human dari sebuah tatanan negara yang menjunjung tinggi nilai nilai yang terkandung dalam hak azasi mamusia, ( Pasal 28 UUD 45 )

Sebuah kesadaran baru yang merupakan akumulasi dari serentetan perjuangan yang pernah dilakukan perempuan, dimulai ketika zaman pergerakan revolusi kemerdekaan hingga kini semangatnya tetap membakar perempuan, Kini dimanifestasikan kedalam bentuk kesetaraan dalam setiap putusan strategis bangsa melalui produk perundang undangan, sejak awal proses sampai kepada pengambilan keputusan, oleh karenanya tidak ada pilihan lain kecuali perempuan berani tampil mencari kesempatan dan merebut peluang , adalah pilihan yang tepat jika perempuan terjun ke dunia politik, agar produk perundangan yang dikeluarkan tidak berorientasi maskulin, dan ditangan para perempuan maka Politik diharapkan melahirkan kebijakan yang lebih berorientasi kepada sensivitas gender, tidak kering makna dan khususnya ramah terhadap perempuan, UUD 45 mengamanatkan untuk menjadi anggota parlemen harus terlebih dulu menjadi anggota partai politik, mutlak.

Partai politik
Kebanyakan orang beranggapan politik berupa “permainan” yang “hitam, kotor dan manipulatif ...” mungkin saja pernyataan itu ada benarnya, namun tergantung dari beberapa varian motivasi sang pemain, jika meminjam istilah yang biasa dipakai oleh Lord Acton “ The Politics Its to get a power “ , jika politik hanya digunakan sebagai alat untuk semata mata memperoleh kekuasan, proses yang dilakukan merupakans dinamika dan tergantung dari mereka yang berkepentingan, jangan menghalalkan segala cara namun menjaga moral dan etika (Fairness) namun Terjemahan politik menurut kamus Lengkap Bahasa Indonesia ( Ratu Aprilia Senja} adalah hal hal yang berkenaan dengan tata negara atau urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan negara atau terhadap negara lain, atau cara mencapai tujuan/ bertindak. Dalam kontekas cara memcapai tujuan inilah yang dapat diperdebatkan tergantung setiap orang memaknainya, how to operate the politic

Politik tidak berada diruang hampa, dalam psikoanalitik Freud gender terkait dengan isue maskulin dan feminine yang berasal dari cara mendidik anak anak sejak kecil, lelaki selalu diartikan lebih unggul dari perempuan, karena itu lelaki diposisikan “mesti” mendapat lebih banyak dari perempuan, adalah kemudian zaman berubah gerakan perempuan menolak ketidak adilan yang ditimpakan kepadanya perempuan menuntut ada pengaturan perundang undangan yang berorientasi maskulin, artinya patriarki kaum lelaki yang mendominasi perempuan dalam segala hal, merupakan beban kultur membutuhkan proses yang panjang mewujudkan demokrasi yang seutuhnya, harus ada goodwill dari negara dan juga budaya/agama meluruskan “tradisi “ tidak ada jalan lain hanya melalui perubahan undang undang dan social reform, perempuan masih harus berjuang dalam segi ekonomi dan kultural, oleh karenanya Perempuan harus bisa mendorong kearah jalan yang benar menuju pengambilan keputusan, dengan bergabung ke partai politik, dan “ take a chance to be somebody “ kemudian harus berjuang lagi menjadi calon legislatif di nomor 3 besar , menjadi anggota parlemen yang berjuang mengangkat derajat kaum perempuan dalam konteks mengatasi ketertindasan yang berlaku atas perempuan

Gambaran berikut ini beberapa aspek penting bagi yang ingin bergelut di “ Partai Politik” di Indonesia melalu proses rekruitmen yang diatur dalam konstitusi partai yaitu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai, produk konggres partai, keanggotaan Partai atas dasar sukarela, memiliki kesamaan Ideologi kesamaan pandangan (visi) maupun kesamaan tujuan (misi) dan kepentingan yang sama membentuk struktur kepemimpinan melalui rapat umum anggota , proses pembentukan struktur kepemimpinan di partai politik diwarnai oleh dinamika yang berkembang dalam pembelajaran demokrasi , hampir diseluruh jagat raya peran partai politik sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan demokrasi, Partai Politik disebut sebagai Pilar demokrasi, dan secara tegas diberi legitimasi dalam Pasal 22 E ayat (3) UUD 45 yaitu Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah Partai Politik, maka untuk mengetahui cara berdemokrasi adalah melalui Partai Politik,
Kendala Perempuan dalam Partai Politik
- Pengaruh kultur/agama
- Akses perempuan yang terbatas
- Tidak mampu bersaing/pasif
- Solidaritas
- Kuantitas/kualitas
- Peran ganda perempuan
- Lemahnya kontribusi media massa

Perempuan dan Parlemen
Ditengah gelombang besar permasalahan bangsa dan Negara,menghadapi setumpuk persoalan yang menyangkut pemulihan ekonomi, pemulihan kepercayaan politik, pemulihan kepercayaan terhadap elite/pemimpin di eksekutif, legislatif dan yudikatif, tidak boleh menyurutkan langkah perempuan untuk dapat terlibat secara langsung dalam proses recovery .lantas pertanyaan selanjutnya apa dan bagaimana yang bisa dilakukan oleh perempuan agar turut serta berperan mengatasi permasalahan bangsa dan Negara ? tidak terlepas didalamnya juga menyangkut peran, posisi. dan keberdayaan perempuan disegala bidang, khususnya bidang legislatif
Ada 3 fungsi legislatif, yaitu Budget (anggaran), Control (pengawasan) legislasi
Anggaran pasal 20 A ayat (1)
Adalah kebijakan dan rencana kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk biaya atau dana ,
melalui UU APBN]
- Pengawasan pasal 20 A ayat (1)
Adalah pengawasan yang terkait dengan kebijakan eksekutif, dalam implementasi UUD 45, dan turunannya serta ketentuan perundang undangan lainnya yang terkait dengan implementasi UU APBN
- Legislasi
Bersama Presiden membuat UU pasal 20 ayat (1) UUD 45
DPR dan Presiden dapat mengajukan RUU usul inisiatif , proses pengajuan RUU , DPR dan Pemerintah membahas persetujuan bersama namun apabila ditolak DPR tidak bisa diajukan lagi dalam persidangan masa itu, dalam hal RUU tidak disahkan dalam waktu 30 hari RUU tsb sah menjadi UU dan Wajib diundangkan pasal 20 ayat (5) UUD 45
Dari sekian banyak kaum perempuan yang menjadi Warga Negara Indonesia sesuai undang undang, , prosentase perempuan di tempat pengambilan keputusan dan memegang kendali kekuasaan masih sangat memprihatinkan, ini berarti perempuan sendiri sedang menyimpan masalah yang cukup mengkhawatirkan, persoalan internal ini harus didorong motivasi dan political will dari pemerintah (affirmative action). Dan partai politik. Jumlah yang tidak signifikan ini juga mempengaruhi output yang dihasilkan dari Parlemen, meskipun nilai itu tidak hanya terletak pada kuantitas tetapi lebih kepada kualitas, sejauh mana perempuan parlemen mampu mengorganisir dirinya untuk memiliki komitmen yang sama dalam mengadopsi aspirasi, keterbatasan inovasi dan kreatifitas perempuan biasanya terpasung kepada kebijakan partainya, kemampuan lobby dan negosiasi juga diperlukan dalam memperjuangkan produk undang undang yang sensitif terhadap perempuan, contoh yang sedang news pada saat ini adalah RUU Pornografi, dari sudut pandang yang berbeda tentu tidak mudah melakukan pendekatan konsep berujung kepada kepentingan perempuan itu sendiri dan masih banyak faktor yang menghantui anggota parlemen perempuan untuk berbuat optimal,

Penutup
Banyak hal yang harus diperjuangkan oleh perempuan politisi selain politisi perempuan harus eksis terlebih dulu menjaga kesetaraannya dalam peran domestik juga perempuan harus eksis dalam peran sosialnya, ketika perempuan sudah berhasil memperjuangkan peran sosial poltiknya dalam politik formal , sebagai seorang anggota parlemen pada masa sekarang dalam pembuatan kebijakan publik harus memiliki sence of crisis dan sensifitas gender, mengapa demikian, jelas sekali bahwa kemiskinan struktural akibat kenaikan BBM, yang paling terbebani adalah perempuan dan anak anak, inilah dosa sosial DPR dan Pemerintah dengan kepurusannya menaikkan gas dan menaikkan BBM 2 kali setahun sebesar 160%. Yang mengakibatkan Tutupnya sebagian Pabrik/perusahaan yang berdampak terhadap PHK, Kemiskinan, Kelaparan, Penyakit dan kebodohan,

Karena itu kita jangan berharap terlalu banyak kepada perempuan parlemen yang tidak sensitif terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, yaitu kebijakan publik yang pro perempuan yang kini telah berjumlah hampir 55%, segeralah para kaum perempuan untuk bangkit berpartisipasi politik , aktif dalam politik praktis atau partai politik karena diharapkan dengan sentuhan perempuan partai politik akan lebih lembut sensitif dan aspiratif, sehingga adagium yang menyebutkan politik adalah kotor dan manipulatif akan terkikis oleh waktu,

Disampaikan dalam seminar sehari “perempuan politisi parlemen”
Jakarta Media Center  20.12.05

Perempuan sebagai agen perubahan

Geliat kita bukan kepura-puraan.
Kepedulian dan komitmen kita adalah nyata.
Kerja sekecil apapun, menjadi lebih bermakna
dari sekedar deretan kalimat dan tutur kata
yang kerap terucap dalam janji tebar pesona.
Kemarin, hari ini, dan esok, para perempuan miskin menunggu,
juga menggugat komitmen kita untuk berjuang merebut asa!



Ijinkan saya mengajak hadirin untuk menundukkan kepala, mengheningkan cipta sejenak dan mendoakan agar almarhumah Basse seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan dan seorang putranya yang telah meninggal dunia akibat kelaparan di Sulawesi Selatan, agar diterima di sisiNya, dan mungkin masih banyak lagi Basse yang lainnya di republik yang tercinta ini agar segera dibebaskan penderitaannya oleh yang Maha Kuasa dari kemiskinan dan kelaparan...., ”

Mengapa perempuan memiliki peranan strategis melakukan perubahan..? Menurut pandangan seorang filusuf politik Italia yang bernama Antonio Gramsci kekuatan civil society adalah upaya kelompok-kelompok sipil melakukan penguatan dan pengimbangan peran hegemonik negara....”

Perempuan sebagai elemen civil society memiliki tempat yang khusus dalam meletakkan dirinya mendorong demokratisasi dan melakukan upaya penyadaran kepada rakyat bahwa mereka punya hak untuk didengar oleh negara, terkait dengan berbagai kepentingan mendasar mereka yang dituangkan dalam berbagai kebijakan politik negara. Atau turut serta sebagai pengawas dalam setiap pengambilan kebijakan yang dibuat oleh lembaga politik negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Jika kita membaca dalam sejarah peradaban umat manusia, maka ada satu hal yang tak dapat dibantah oleh siapapun. Bahwa perubahan adalah sesuatu yang niscaya....” postulat tentang perubahan sebagai keniscayaan sejarah, dapat menjadi kalimat pembuka yang baik dalam mengupayakan pemahaman yang jelas tentang diskursus gerakan perempuan saat ini. Sehingga, antara wacana perubahan dan wacana kemapanan dapat dijernihkan. Tanpa harus meninggalkan salah satunya secara ekstrim dan deterministik (berpikir mekanistik).

Banyak peristiwa besar di dunia yang didahului oleh kaum perempuan. Revolusi Rusia 1917, terjadi setelah kaum perempuan miskin (para ibu) melakukan aksi turun ke jalan-jalan, memprotes dan menuntut roti dan anggur. Mereka adalah kaum ibu yang memiliki anak-anak dan suami yang bekerja sebagai buruh pertambangan yang hak-hak ekonomi-politiknya teraniaya oleh penguasa. Hingga terjadilah revolusi besar yang mempengaruhi wajah dunia. Kepeloporan kaum perempuan terus berlanjut di negara-negara lain.


Pada tahun 70-an akhir, kaum ibu yang awalnya berjumlah puluhan orang melakukan protes terhadap penguasa diktator yang telah menculik anak dan suami mereka. Dalam situasi yang sangat represif, para ibu ini menunjukkan dirinya tepat di hadapan penguasa dengan cara mengelilingi Plaza de Mayo setiap hari Jumat. Hati kaum ibu ini mampu mengalahkan rasa takut terhadap rezim diktator. Mereka berjuang dan mempengaruhi opini masyarakat. Pada akhirnya, suara-suara ini menjadi kekuatan besar yang mampu membongkar kekerasan politik di Argentina.

Dalam Revolusi Damai di Filipina pada tahun 1989, ratusan ribu penduduk turun ke jalan hingga Ferdinand Marcos dapat diturunkan dari kursi kepresidenan. Adalah Cory Aquino menjadi figur perempuan rumah tangga yang tidak terlalu dekat dengan politik didaulat oleh massa rakyat untuk tampil memimpin. Sekali lagi, perempuan menunjukkan kekuatannya ketika berada di tengah massa, memberikan sumbangan terbesar yang mereka miliki. Para ibu rumah tangga, suster/biarawati bersama aktivis partai melakukan perubahan yang mampu merubah wajah Filipina.

Bagaimana dengan gerakan perempuan di Indonesia ?

Pandangan dari aspek sosiologis, perempuan merupakan salah satu entitas (subsistem) dalam sebuah sistem sosial yang kemudian dikenal dengan sebutan negara. Perlu diingat, bahwa Indonesia merupakan sebuah negara-bangsa yang lahir karena perjuangan politik. Sehingga, paham tentang negara sebagai organisasi politik penting disadari sebagai bentuk kesadaran zaman. Urgensinya, terletak pada kesadaran konstitusional. Bahwasanya, perempuan memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara. Tidak hanya memahami diri secara normatif sebagai seorang pekerja domestik, tetapi, lebih pada sebuah kesadaran dan tanggung jawab dalam dalam setiap praktek-praktek sosialnya dalam konteks apapun. Inilah yang mesti disadari sebagai bentuk kesadaran politik perempuan.

Rasanya, kita yang berada di forum ini, merupakan saksi sekaligus korban dari sistem yang tidak adil. Tidak berlebihan bila kita mengklaim diri sebagai ’korban’, karena terlalu banyak peristiwa sosial yang terjadi sehari-hari yang merupakan jawaban bahwa perempuan di Indonesia (semua kelas sosial) sulit untuk menghindar dari praktek-praktek tidak adil dari masyarakat, negara, dan juga keluarga.

Akan tetapi, sebagaimana yang dilakukan oleh perempuan di negara-negara lain, perempuan di Indonesia memiliki kekuatan yang mampu mengisi ruang-ruang kosong yang tidak mampu diisi oleh anggota masyarakat lain. Lebih dari itu, kitapun memiliki kesamaan sejarah yang menunjukkan bahwa di tengah krisis ekonomi - politik, para ibu hadir secara fisik di tengah massa aksi dengan apa yang mereka miliki (nasi bungkus dll). Inisiatif dan komitmen yang kuat dari kaum ibu, tidak hanya ditunjukkan dalam aksi massa atau dalam antrian panjang BBM/Sembako. Keluarga korban penculikan para aktivis, yang secara vokal tampil sebagai juru bicara adalah para ibu.

Sebagaimana yang dilakukan oleh RA Kartini yang menyejarah, atau Megawati Sukarnoputri, yang juga berjuang untuk mendorong masyarakat agar berani membebaskan diri dari rasa takut (akibat hegemoni Orba yang berkolaborasi dengan kekuatan militer), meski bisik-bisik kala itu mensimplikasi Megawati ” hanyalah seorang ibu rumah tangga....”, ternyata gerakan pembebasan itu semakin mengkristal dan Megawati menjadi ikon perlawanan gerakan rakyat terhadap kekuasaan yang otoriter. Bagi Megawati (baca; perempuan), penekanan oleh negara dan masyarakat justru membuat perempuan semakin kuat. Ini artinya, perempuan secara umum, memiliki daya survive yang tinggi.

Maka tawaran alternatif yang progresif perlu menjadi perhatian, pada perjuangan perempuan dan menyadari untuk terjadinya perubahan yang berpihak pada perempuan, maka perempuan harus masuk pada wilayah politik dan merebutnya. Dalam konteks Indonesia, maka tak ada jalan lain bagi perempuan Indonesia, selain terlibat dalam setiap tahapan pemilu sejak awal, hingga pengambilan keputusan.

Berbicara gerakan perempuan, berarti kita berbicara tahapan kerja atau tahapan berjuang. Karena gerakan sosial membutuhkan prasyarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi. Menjadi keinginan yang ideal bila pembacaan terhadap potensi perempuan dan apa yang harus dilakukan hanya berhenti pada wacana atau pembicaraan semata. Artinya, kesadaran kita harus dikongkritkan dalam kerja-kerja sosial dan politik.

Pertama, sudahkah Anda mengambil peran sebagai aktivis organisasi, atau lebih kongkrit lagi menjadi anggota partai yang pro aktif bukan hanya sekedar simpatisan belaka.

Kedua, belajar membuat program yang dapat disusun secara sederhana menjembatani persoalan perempuan dengan program organisasi/partai.

Ketiga, apakah kita selalu berjaringan/bekerja sama dengan organisasi perempuan lainnya, termasuk dengan intansi pemerintah?

Kesadaran untuk berorganisasi harus ditebarkan ke seluruh perempuan. Dengan berorganisasi, maka perjuangan hak-hak yang selama ini diabaikan akan menjadi lebih terarah dan terprogram. Tanpa organisasi, kehidupan kaum perempuan tetap berjalan di tempat. Jikapun terjadi perubahan, hanya bersifat sementara dan tidak mendasar. Pemenuhan kebutuhan hidup secara layak dan manusiawi, serta perlindungan hukum tidak akan berjalan, bila tidak disertai dengan perjuangan melalui organisasi. Dengan cara inilah, kita merangkul perempuan yang berpikiran dan berkeinginan maju. Meski demikian, peran perempuan sebagai ibu dan pendidik bagi putra-putrinya di rumah juga sangat strategis dengan menciptakan metodologi yang cerdas di dalam rumah tangganya sebagai kontribusi mendorong perubahan.

Artinya, dua hal itu tidaklah harus dipertentangkan, karena gerakan perempuan pada saat-saat tertentu dapat bersinergi ke dalam gerakan politik. Contohnya adalah ketika para perempuan melakukan advokasi kepada keluarganya di meja makan misalnya, dan forum itu berubah materi tentang berbagai hal kejadian di masyarakat, misalnya tentang hak-hak buruh yang ditindas pengusaha, bahwa orang lemah harus ditolong, manusia harus mendapatkan kehidupan yang layak serta tidak boleh adanya eksploitasi atas individu oleh individu lain. Dan berbagai hal yang dapat memotivasi ”orang rumah” untuk turut serta sensitif terhadap perubahan nasib bangsa ke arah yang lebih baik .

Sebagai penutup tentu saja perempuan tidak bisa menolak globalisasi, dan propaganda konsumtif dengan gaya hidup (life style) masa kini yang ditawarkan sedikit hedonis, dan pragmatis sehingga ukuran keberhasilan sebuah keluarga di Indonesia sampai detik ini masih dinilai dari keberhasilan secara ekonomis. Komunitas yang terbangun ini bukan tanpa kesengajaan, indikasi ini semakin memperjelas bahwa kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat dan bermuara kepada tingginya angka kemiskinan, tidak berbeda dengan masyarakat yang berada dalam kemapanan secara sengaja turut andil menumbuhkan sikap apatis, individualis, dan masa bodoh di masyarakat. Karena semakin melemahnya masyarakat, akan memberi ruang yang kondusif bagi eksistensi terbentuknya pemerintahan yang FASIS.

(disampaikan dalam seminar pd tgl 01.03.08, tema analisis politik perempuan, kerjasama sekolah analisa perempuan politik dengan yayasan sajadah dan PB NU, di wisma asrama perempuan PMII Ciputat jakarta.)

mengakhiri kemiskinan dengan berpolitik

RUU Pemilu telah disahkan. Beberapa pasal yang dianggap krusial bagi kepentingan partai politik akhirnya selesai, UU Pemilu adalah taruhan sekaligus jawaban bagi rakyat ke arah mana politik/kekuasaan berpihak. Bagi perempuan, kuota 30% adalah kesempatan untuk berjuang dalam arena politik yang masih didominasi kaum laki-laki.

Belajar dari 4 tahun terakhir pasca-Pemilu 2004, rakyat menerima akibat buruk dari wajah kekuasaan yang ternyata tidak memiliki sense kerakyatan. Berbalik dari janji-janji kampanye, dimana para politisi menebar pesona dengan mantra prorakyat dan pro demokrasi, nyatanya, rakyat dijerumuskan. Setelah meraih kemenanganan, pasangan SBY-Kalla mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sejatinya lebih berpihak kepada pemilik modal. Kasus lumpur Lapindo, telah menjadi pembuktian kepada seluruh rakyat, bahwa Pemerintah SBY-Kalla tidak bernyali menghadapi tekanan modal. kini lumpur Lapindo dibiarkan melebar, mengaliri urat nadi perkampungan dan perekonomian rakyat. Berbagai persoalan yang menyentakkan kemanusiaan kita, terjadi silih berganti. Tanpa ada solusi yang memadai dan terkesan dilakukannya pembiaran.

Bagi perempuan, ketidakpedulian pemerintah terhadap masalah sosial-ekonomi, mempengaruhi kondisi sosial dan personalnya sebagai perempuan. Karena di tengah masyarakat yang masih patriarkhal, perempuan menanggung beban ganda. Di satu sisi, keperempuanannya disubordinatkan, tetapi di sisi lain, dieksploitasi. Ketika subsidi BBM dipotong, serta merta perempuan menjadi pihak pertama yang melakukan antri minyak. Perempuan juga yang harus mengelola keuangan dan mempertahankan asap dapur.

Menjadi tidak mengherankan, bila di tengah 94% penduduk Indonesia yang mengalami depresi , dimana perempuan mayoritas di dalamnya. Sementara itu, diperkirakan ada 50 ribu orang Indonesia melakukan bunuh diri setiap tahun. Hal ini disebabkan beratnya masalah sosial seperti pengangguran, penggusuran, mahalnya biaya hidup, dll .Oleh karena itu, saatnya bagi gerakan perempuan untuk melakukan terobosan perjuangan untuk perubahan Karena di situlah segala produk hukum dan politik disahkan. Segala kompromi politik yang seringkali menafikan kepentingan rakyat dan bangsa. UU Penanaman Modal yang merestui pemakaian lahan selama 90 tahun dan dapat diperpanjang, adalah bagian dari skenario ekonomi-politik global yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Sehingga apa yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa, bagi kemaslahatan rakyat banyak justru dirusak oleh para elit politiknya. akibatnya, kaum perempuan harus menanggung penderitaan yang berkepanjangan di berbagai sektor kehidupan. Hak-hak ekonomi-politiknya diabaikan. Untuk itulah, dalam tiga tahun usia SDI yang bersamaan dengan peringatan Hari Perempuan Sedunia, Srikandi Demokrasi Indonesia, menyatakan secara tegas bahwa:

Untuk keluar dari lingkaran kemiskinan struktural yang telah akut ini, maka aktivis perempuan dan aktivis prodemokrasi lainnya, harus masuk dan terlibat penuh dalam wilayah politik, baik di legislatif maupun eksekutif, dan juga di jabatan struktur lainnya karena dengan perempuan berada diwilayah politik maka diharapkan mempercepat bangsa ini keluar dari jerat kemiskinan.

Maka dengan tegas kami menuntut kepada Pemerintah SBY-Kalla untuk segera menurunkan harga sembako, minyak goreng, beras, tepung terigu, hingga kenaikan harga tahu tempe,dan kebutuhan 9 bahan pokok, diantaranya dengan cara mengembalikan subsidi yang pantas diterima rakyat, sekali lagi mengembalikan subsidi yang pantas diterima rakyat, Hendaknya pengaturan Tata Niaga minyak goreng tidak berdasarkan pendekatan harga pasar (internasional) terbukti pengenaan pajak ekspor progresif CPO sebesar 10% tidak mampu menghentikan eksport besar besaran CPO keluar negeri dikarenakan harga CPO internasional saat ini hampir menyentuh angka 30%, padahal Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar kedua didunia, namun sekitar 2/3 diekspor, sungguh ironis..., kami juga menghimbau menghentikan praktek perdagangan kartell terhadap tepung terigu, gula, kedelai dll.

Maka berhentilah bermain main dengan retorika, manakala SBY meminta agar tidak mempolitisasi kemiskinan, pada situasi yang bersamaan apakah tidak boleh para perempuan menggugat kemiskinan ? tentu saja sangat dibenarkan, kenapa ? senyatanya kemiskinan telah berakibat buruk bagi kesehatan serta gizi ibu dan anak anak, meningkatnya drop out pelajar sekolah dan mahasiswa, menurunnya pendapatan dan melemahnya daya beli rakyat, jangan biarkan rakyat diambang batas kesabarannya. Jangan biarkan perempuan menanggung derita yang tak berujung.... CUKUP...! !

(disampaikan dalam orasi peringatan hari perempuan dunia, tgl 8 maret 2008, di bunderan HI, bersama Srikandi Demokrasi indonesia )

Kamis, 06 Maret 2008

tanggapan atas buku :"HAK KERJA WARIA TANGGUNG JAWAB NEGARA"

I. Pengantar
Buku adalah cermin.
Membaca buku ini, sama seperti kita melihat diri sendiri bersama dengan realitas besar masyarakat yang tidak adil terhadap kelompok yang diminoritaskan. Secara umum, buku ini menarik dan dapat berbicara banyak, karena beberapa hal.
Pertama, analisa yang dilakukan tim penulis, berangkat dari fakta yang diungkapkan dari pengalaman para waria dari berbagai kalangan sosial-ekonomi. Hal ini menjadi modal bagi kita untuk menyusun strategi yang dapat digunakan dalam memperjuangkan hak-hak kaum kaum minoritas, khususnya waria. Asumsinya, ketika mengetahui dan memiliki data-data yang bersifat personal dan kolektif, dapat menjadi penuntun kita dalam memberikan jawaban yang membumi dan rasional.

Kedua, buku ini bisa mengisi ruang-ruang publik yang selama ini didominasi oleh kelompok mayoritas. Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh Arus Pelangi akan memberikan materi yang alternatif bagi para pembaca yang terbiasa mengkonsumsi bacaaan yang diskriminatif, baik dari media massa maupun buku ilmiah. Untuk itu, menjadi sangat tepat, bila buku ini bisa didiskusikan di beberapa sekolah/kampus. Bisa dimulai dari Universitas At Thahiriyah Jakarta, sebagai kampus yang lebih toleran dengan kaum waria, seperti yang dipaparkan oleh tim penulis.

II. Wajah Masyarakat Kita
Dalam testimoni yang diungkapkan oleh beberapa waria, terlihat bagaimana masyarakat dan negara memposisikan waria bukan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki hak sosial, ekonomi, dan politik yang sama dengan anggota masyarakat yang lain. Berawal dari perlakuan keluarga yang sangat diskriminatif dan kerap melakukan tindak kekerasan fisik, hingga perlakuan yang tidak adil dari masyarakat.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, waria diterima keberadaannya dan diakui eksistensinya pada bidang tertentu. Akan tetapi, pada sisi lain, waria dikecam dan diperlakukan secara tidak adil, justru pertama kali dari keluarga terdekat. Menjadi fakta sosial yang sulit untuk dibantah, bahwa banyak keluarga yang resisten bila mengetahui anggota keluarga sebagai waria, tetapi satu sisi dapat memaklumi dan menerima waria yang bukan anggota keluarganya. Hal ini menunjukkan ketidaksiapan masyarakat dalam menerima perbedaan secara nyata. Penerimaan keberadaan waria yang bukan anggota keluarga, merupakan manifestasi dari kesadaran semu dari sebagian masyarakat. Hal ini berimplikasi pada berlangsungnya tindak diskriminatif terhadap waria pada berbagai sektor kehidupan.

Secara historis, masyarakat kita sebenarnya mengalami proses perkembangan di mana waria menjadi bagian yang menyatu secara budaya. Seperti yang dicontohkan dalam buku ini, waria bahkan ‘disakralkan’ dalam menjalankan ritual adat seperti di Makasar. Begitu juga dalam kesenian Reog, laki-laki yang berpakaian perempuan menjadi pemain yang mengekpresikan cita rasa budaya.

Contoh-contoh di atas, akan lebih mumpuni bila dapat memberikan gambaran yang kemprehensif mengenai kekuatan yang dimiliki oleh kaum waria dalam melakukan perubahan, di tengah perlakuan masyarakat yang diskriminatif. Mungkin terdengar berlebihan bila kita meminta kaum waria untuk menunjukkan eksistensinya, tetapi berhadapan dengan masyarakat yang feodal dan diskriminatif terhadap minoritas, mau-tidak mau, kita harus melakukan tindakan sosial-ekonomi yang searah dengan logika umum.

III. Dunia Kerja yang Diskriminatif
Dalam wacana dan praktek kerja Kapitalis, segala bentuk relasi masyarakat akan dikompromikan sebagai kultur yang digunakan dalam pelakukan proses produksi. Budaya masyarakat, seperti diskriminasi terhadap perempuan, waria dan kelompok minoritas lainnya, sekalipun itu bertentangan dengan konsep modernitas yang diagungkan oleh kekuatan ekonomi Kapitalis akan digunakan sebagai payung kerja terutama ketika berhubungan dengan para pekerjanya.

Dengan demikian, menjadi tidak heran, bila kultur masyarakat dalam memperlakukan kaum waria diadopsi dalam dunia kerja. Kekuatan modal tidak akan mengambil resiko dalam mempekerjakan waria, karena akan menimbulkan masalah dengan masyarakat. Dengan kata lain, terjadi kolaborasi antara masyarakat dengan modal dalam mendiskriminasikan kaum waria.

Akan tetapi, dalam kemasan yang berbeda, kewariaan justru dilanggengkan dan dinikmati menjadi komoditas modal. Acara hiburan di televisi kerap menampilkan tokoh waria, dan itu diterima sebagai kenyataan yang tidak ditolak, apalagi diprotes. Masyarakat bahkan menikmati hal itu. Hal ini dapat menjawab persoalan mengapa waria ditolak di dunia kerja pada umumnya. Terjadi kamuflase realitas yang dilakukan oleh dunia kerja terhadap waria, selama menguntungkan, waria akan diperkerjakan, tetapi terbatas pada wilayah tertentu yang hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas.

Persoalan di atas, terungkap dalam wawancara dengan wawancara dengan ketua FNPBI (hal 73). Sebenarnya, analisa ini bisa menjadi kesimpulan besar dan menjadi landasan dalam menyusun strategi bersama.

IV. Dari Mana Memulai?
Ketidakadilan yang dialami oleh kaum waria menjadi berlapis ketika berhadapan dengan kekuatan modal dan masyarakat yang diamini oleh Negara. Untuk itu, seperti yang disimpulkan oleh tim penulis, harus ada wacana tandingan dalam hal epistemologi. Karena disadari penindasan terhadap kaum minoritas adalah bagian dari eksploitasi system ekonomi politik. Berhadapan dengan kenyataan ini, maka selain tindakan yang bersifat kolektif yang dilakukan secara terorganisir melalui organisasi waria dll, tindakan personal juga tetap penting untuk dilakukan dan diperkuat.

Beberapa tindakan yang dapat meminimalisir tindak diskriminasi masyarakat:
  • Berkarya. Dengan kekuatan yang sudah dimiliki oleh kaum waria, politik modal dan masyarakat dapat dijawab dengan menunjukkan eksistensi dalam berbagai karya nyata yang dianggap sebagai kontribusi bagi kemajuan masyarakat. Karena sesungguhnya dengan berkarya akan memperoleh penilaian obyektif di masyarakat manusia tidak lagi terpilah pilah, berdasarkan jenis kelaminnya atau berdasarkan orientasi seksualnya, sudah banyak contoh di republik tercinta ini.
  • Menunjukkan kepedulian pada isue lain. Teman-teman waria, melakukan komunikasi dan interaksi yang massif dengan masyarakat, terutama dengan menunjukkan kepedulian sosial pada kasus-kasus besar atau kecil yang dialami oleh masyarakat secara umum, contoh kasus kasus bencana alam dll.
  • Menggunakan bahasa dan logika yang mudah diterima masyarakat. Berhadapan dengan masyarakat yang reaksioner, maka dibutuhkan keluwesan karena modal sosial ierletak di masyarakat, dalam memasok kesadaran baru kepada masyarakat.

V. Penutup
Secara keseluruhan, perjuangan kaum waria akan menunjukkan kemajuan, bila memiliki landasan ideologi dalam menghadapi kekuatan modal dan masyarakat. Dibutuhkan strategi besar yang dapat diperoleh melalui kerja yang terus menerus yang melibatkan berbagai pihak, termasuk intens berhubungan dengan partai politik (hal 106) , yang terpenting konsolidasi kedalam, untuk mengukur kekuatan dalam meningkatkan posisi tawar, agar mampu memproduksi image, dan pencitraan positif yang lain,

sebuah kearifan yang mesti dipahami sebagai minoritas di republik ini, ada 2 hal yang patut dicermati, dihadapan kita terdapat tembok yang berlapis, kolaborasi antara dogma dan kultur , hindari sikap frontal dan lakukan komunikasi intensif untuk mendis integrasikan logika yang tumbuh dimasyarakat feodal, maka pandai pandailah berdiplomasi untuk mencapai sasaran yang dikehendaki dengan menciptakan KARYA NYATA tidak pernah ada kata koma dalam perjuangan, … selamat berjuang. !


Jakarta, 14 Desember 2007
**Disampaikan dalam diskusi buku “Hak Kerja Waria: Tanggungjawab Negara” yang diselenggarakan oleh Arus Pelangi dan FES Indonesia di JMC, Jakarta