Membaca judul di atas, yang dipilih panitia bagi saya dalam kesempatan ini, dengan segera menimbulkan keresahan dalam benak saya akan realita sosial-politik yang belum berpihak kepada perempuan. Sampai detik ini, peran perempuan dalam politik, masih sangat lemah. Sekalipun Pasal 27 UUD 45, telah menggariskan kesamaan warga negara di hadapan hukum. Konstitusi sebagai Grund Norm seharusnya menjadi rujukan bagi rakyat Indonesia, dalam memposisikan perempuan sebagai mahluk sosial yang harus dilindungi kepentingannya. Karena pada dasarnya, perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki, untuk merebut peluang di segala bidang hingga level kepemimpinan nasional.
Dalam era reformasi seperti saat ini, keinginan masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang menjunjung nilai-nilai demokrasi semakin menguat. Demokrasi yang tentu saja mampu mengartikulasikan hak azasi manusia yang dirumuskan secara universal, yakni hak untuk memperoleh kebebasan dan kebahagiaan hidup. Oleh karenanya, seluruh rakyat, baik laki-laki dan perempuan tidak dibatasi peluangnya untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan bangsa. Namun faktanya, hingga saat ini perempuan masih diposisikan oleh masyarakat sebagai sosok yang lemah, kurang mandiri, lebih memainkan perasaan, dan kurang rasional. Benarkah?
Budaya patriarki yang sudah turun temurun membuat mitos yang luar biasa di tengah masyarakat. Perempuan dikondisikan sebagai mahluk kelas dua dan menempatkan laki-laki sebagai do the best. Interpretasi umum tentang perempuan dalam tinjauan dogmatis membawa implikasi terbatasnya ruang dan waktu bagi pemberdayaan perempuan. Situasi yang kompleks ini, mengharuskan para aktivis perempuan di seluruh Indonesia untuk mendorong peran politik perempuan dengan merumuskan kuota 30%. Gagasan ini cukup genius, sekalipun pro kontra terjadi.
Adalah sebuah kenyataan manakala hendak memberdayakan perempuan dalam implementasi tidaklah semudah membalik tangan. Akses ke politik, masih harus diperjuangkan oleh perempuan sendiri. Dan hanya sebagian kecil perempuan yang memiliki akses dalam mengadvokasi dan memperjuangkan pembongkaran kultur patriarki.
Dalam upaya mendorong dan mengupayakan perempuan berpartisipasi aktif dan berperan sebagai penentu kebijakan di bidang politik, maupun pemerintahan, diperlukan berbagai upaya yang kongkrit untuk meningkatkan kesadaran, motivasi, kemampuan, dan dukungan semua pihak termasuk dari perempuan itu sendiri. Sehingga terjadi peningkatan keterwakilan dan partisipasi perempuan dalam Lembaga Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif, baik di tingkat pusat, propinsi kabupaten /kota dengan kualitas yang dapat diandalkan dengan jumlah yang signifikan.
Betapapun sulitnya menembus diiding tebal kultir dan dogma yang dipersepsikan, Seharusnya perempuan paham akan konstitusi dan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi kesetaraannya dalam berimaginasi dan berkiprah, Pasal 28, ayat 1 UUD memperkuat landasan hukum yang menjamin aspirasi dan partisipasi perempuan dalam bidang politik. Hal ini kemudian diperkuat dengan UU No.12/2003 tentang Pemilu dan UU no 32/2000 tentang partai politik. Namun demikian, hingga Pemilu 2004, Pemilu legislatif belum mencapai hasil yang direncanakan, untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di legislatif pusat dan daerah minimal 30%.n Keterwakilan perempuan di legislatif pusat hanya 11,09 %. Sedangkan anggota DPD sebesar 21,09% dari jumlah anggota keseluruhan. Untuk itu, harus ditingkatkan kemampuan pengetahuan, keprofesionalan, ketrampilan, dan peranan di berbagai bidang, khususnya bidang politik.
Penerapan kuota pencalonan parpol dalam Pemilu hanyalah sebuah strategi. Untuk itu, perempuan harus mampu meningkatkan potensi dirinya dan mengembangkan komitmen serta terus berjuang, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa dan negara. Sebagai contoh, dalam bidang politik dihasilkannya Affirmative Action, Pasal 65 ayat 1, UU Pemilu 2003, tentang keterwakilan perempuan minimal 30 persen di legislatif, adalah sebuah langkah maju institusi demokrasi, dalam mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Dan menjadi solusi bagi perempuan dalam menciptakan ruang dan kesempatan yang sama dengan laki-laki, yang selama ini tidak diakui oleh masyarakat, karena masih kuatnya budaya patriarki.
Jakarta, 28 Juni 2006
Dalam era reformasi seperti saat ini, keinginan masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang menjunjung nilai-nilai demokrasi semakin menguat. Demokrasi yang tentu saja mampu mengartikulasikan hak azasi manusia yang dirumuskan secara universal, yakni hak untuk memperoleh kebebasan dan kebahagiaan hidup. Oleh karenanya, seluruh rakyat, baik laki-laki dan perempuan tidak dibatasi peluangnya untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan bangsa. Namun faktanya, hingga saat ini perempuan masih diposisikan oleh masyarakat sebagai sosok yang lemah, kurang mandiri, lebih memainkan perasaan, dan kurang rasional. Benarkah?
Budaya patriarki yang sudah turun temurun membuat mitos yang luar biasa di tengah masyarakat. Perempuan dikondisikan sebagai mahluk kelas dua dan menempatkan laki-laki sebagai do the best. Interpretasi umum tentang perempuan dalam tinjauan dogmatis membawa implikasi terbatasnya ruang dan waktu bagi pemberdayaan perempuan. Situasi yang kompleks ini, mengharuskan para aktivis perempuan di seluruh Indonesia untuk mendorong peran politik perempuan dengan merumuskan kuota 30%. Gagasan ini cukup genius, sekalipun pro kontra terjadi.
Adalah sebuah kenyataan manakala hendak memberdayakan perempuan dalam implementasi tidaklah semudah membalik tangan. Akses ke politik, masih harus diperjuangkan oleh perempuan sendiri. Dan hanya sebagian kecil perempuan yang memiliki akses dalam mengadvokasi dan memperjuangkan pembongkaran kultur patriarki.
Dalam upaya mendorong dan mengupayakan perempuan berpartisipasi aktif dan berperan sebagai penentu kebijakan di bidang politik, maupun pemerintahan, diperlukan berbagai upaya yang kongkrit untuk meningkatkan kesadaran, motivasi, kemampuan, dan dukungan semua pihak termasuk dari perempuan itu sendiri. Sehingga terjadi peningkatan keterwakilan dan partisipasi perempuan dalam Lembaga Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif, baik di tingkat pusat, propinsi kabupaten /kota dengan kualitas yang dapat diandalkan dengan jumlah yang signifikan.
Betapapun sulitnya menembus diiding tebal kultir dan dogma yang dipersepsikan, Seharusnya perempuan paham akan konstitusi dan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi kesetaraannya dalam berimaginasi dan berkiprah, Pasal 28, ayat 1 UUD memperkuat landasan hukum yang menjamin aspirasi dan partisipasi perempuan dalam bidang politik. Hal ini kemudian diperkuat dengan UU No.12/2003 tentang Pemilu dan UU no 32/2000 tentang partai politik. Namun demikian, hingga Pemilu 2004, Pemilu legislatif belum mencapai hasil yang direncanakan, untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di legislatif pusat dan daerah minimal 30%.n Keterwakilan perempuan di legislatif pusat hanya 11,09 %. Sedangkan anggota DPD sebesar 21,09% dari jumlah anggota keseluruhan. Untuk itu, harus ditingkatkan kemampuan pengetahuan, keprofesionalan, ketrampilan, dan peranan di berbagai bidang, khususnya bidang politik.
Penerapan kuota pencalonan parpol dalam Pemilu hanyalah sebuah strategi. Untuk itu, perempuan harus mampu meningkatkan potensi dirinya dan mengembangkan komitmen serta terus berjuang, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa dan negara. Sebagai contoh, dalam bidang politik dihasilkannya Affirmative Action, Pasal 65 ayat 1, UU Pemilu 2003, tentang keterwakilan perempuan minimal 30 persen di legislatif, adalah sebuah langkah maju institusi demokrasi, dalam mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Dan menjadi solusi bagi perempuan dalam menciptakan ruang dan kesempatan yang sama dengan laki-laki, yang selama ini tidak diakui oleh masyarakat, karena masih kuatnya budaya patriarki.
Jakarta, 28 Juni 2006
**Disampaikan dalam Simposium Nasional tentang Gender dan Dilema Kepemimpinan Perempuan, Tgl 28 Juni 2006 di Hotel Milenium, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar