Kamis, 06 Maret 2008

tanggapan atas buku :"HAK KERJA WARIA TANGGUNG JAWAB NEGARA"

I. Pengantar
Buku adalah cermin.
Membaca buku ini, sama seperti kita melihat diri sendiri bersama dengan realitas besar masyarakat yang tidak adil terhadap kelompok yang diminoritaskan. Secara umum, buku ini menarik dan dapat berbicara banyak, karena beberapa hal.
Pertama, analisa yang dilakukan tim penulis, berangkat dari fakta yang diungkapkan dari pengalaman para waria dari berbagai kalangan sosial-ekonomi. Hal ini menjadi modal bagi kita untuk menyusun strategi yang dapat digunakan dalam memperjuangkan hak-hak kaum kaum minoritas, khususnya waria. Asumsinya, ketika mengetahui dan memiliki data-data yang bersifat personal dan kolektif, dapat menjadi penuntun kita dalam memberikan jawaban yang membumi dan rasional.

Kedua, buku ini bisa mengisi ruang-ruang publik yang selama ini didominasi oleh kelompok mayoritas. Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh Arus Pelangi akan memberikan materi yang alternatif bagi para pembaca yang terbiasa mengkonsumsi bacaaan yang diskriminatif, baik dari media massa maupun buku ilmiah. Untuk itu, menjadi sangat tepat, bila buku ini bisa didiskusikan di beberapa sekolah/kampus. Bisa dimulai dari Universitas At Thahiriyah Jakarta, sebagai kampus yang lebih toleran dengan kaum waria, seperti yang dipaparkan oleh tim penulis.

II. Wajah Masyarakat Kita
Dalam testimoni yang diungkapkan oleh beberapa waria, terlihat bagaimana masyarakat dan negara memposisikan waria bukan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki hak sosial, ekonomi, dan politik yang sama dengan anggota masyarakat yang lain. Berawal dari perlakuan keluarga yang sangat diskriminatif dan kerap melakukan tindak kekerasan fisik, hingga perlakuan yang tidak adil dari masyarakat.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, waria diterima keberadaannya dan diakui eksistensinya pada bidang tertentu. Akan tetapi, pada sisi lain, waria dikecam dan diperlakukan secara tidak adil, justru pertama kali dari keluarga terdekat. Menjadi fakta sosial yang sulit untuk dibantah, bahwa banyak keluarga yang resisten bila mengetahui anggota keluarga sebagai waria, tetapi satu sisi dapat memaklumi dan menerima waria yang bukan anggota keluarganya. Hal ini menunjukkan ketidaksiapan masyarakat dalam menerima perbedaan secara nyata. Penerimaan keberadaan waria yang bukan anggota keluarga, merupakan manifestasi dari kesadaran semu dari sebagian masyarakat. Hal ini berimplikasi pada berlangsungnya tindak diskriminatif terhadap waria pada berbagai sektor kehidupan.

Secara historis, masyarakat kita sebenarnya mengalami proses perkembangan di mana waria menjadi bagian yang menyatu secara budaya. Seperti yang dicontohkan dalam buku ini, waria bahkan ‘disakralkan’ dalam menjalankan ritual adat seperti di Makasar. Begitu juga dalam kesenian Reog, laki-laki yang berpakaian perempuan menjadi pemain yang mengekpresikan cita rasa budaya.

Contoh-contoh di atas, akan lebih mumpuni bila dapat memberikan gambaran yang kemprehensif mengenai kekuatan yang dimiliki oleh kaum waria dalam melakukan perubahan, di tengah perlakuan masyarakat yang diskriminatif. Mungkin terdengar berlebihan bila kita meminta kaum waria untuk menunjukkan eksistensinya, tetapi berhadapan dengan masyarakat yang feodal dan diskriminatif terhadap minoritas, mau-tidak mau, kita harus melakukan tindakan sosial-ekonomi yang searah dengan logika umum.

III. Dunia Kerja yang Diskriminatif
Dalam wacana dan praktek kerja Kapitalis, segala bentuk relasi masyarakat akan dikompromikan sebagai kultur yang digunakan dalam pelakukan proses produksi. Budaya masyarakat, seperti diskriminasi terhadap perempuan, waria dan kelompok minoritas lainnya, sekalipun itu bertentangan dengan konsep modernitas yang diagungkan oleh kekuatan ekonomi Kapitalis akan digunakan sebagai payung kerja terutama ketika berhubungan dengan para pekerjanya.

Dengan demikian, menjadi tidak heran, bila kultur masyarakat dalam memperlakukan kaum waria diadopsi dalam dunia kerja. Kekuatan modal tidak akan mengambil resiko dalam mempekerjakan waria, karena akan menimbulkan masalah dengan masyarakat. Dengan kata lain, terjadi kolaborasi antara masyarakat dengan modal dalam mendiskriminasikan kaum waria.

Akan tetapi, dalam kemasan yang berbeda, kewariaan justru dilanggengkan dan dinikmati menjadi komoditas modal. Acara hiburan di televisi kerap menampilkan tokoh waria, dan itu diterima sebagai kenyataan yang tidak ditolak, apalagi diprotes. Masyarakat bahkan menikmati hal itu. Hal ini dapat menjawab persoalan mengapa waria ditolak di dunia kerja pada umumnya. Terjadi kamuflase realitas yang dilakukan oleh dunia kerja terhadap waria, selama menguntungkan, waria akan diperkerjakan, tetapi terbatas pada wilayah tertentu yang hanya dapat dinikmati oleh kalangan menengah ke atas.

Persoalan di atas, terungkap dalam wawancara dengan wawancara dengan ketua FNPBI (hal 73). Sebenarnya, analisa ini bisa menjadi kesimpulan besar dan menjadi landasan dalam menyusun strategi bersama.

IV. Dari Mana Memulai?
Ketidakadilan yang dialami oleh kaum waria menjadi berlapis ketika berhadapan dengan kekuatan modal dan masyarakat yang diamini oleh Negara. Untuk itu, seperti yang disimpulkan oleh tim penulis, harus ada wacana tandingan dalam hal epistemologi. Karena disadari penindasan terhadap kaum minoritas adalah bagian dari eksploitasi system ekonomi politik. Berhadapan dengan kenyataan ini, maka selain tindakan yang bersifat kolektif yang dilakukan secara terorganisir melalui organisasi waria dll, tindakan personal juga tetap penting untuk dilakukan dan diperkuat.

Beberapa tindakan yang dapat meminimalisir tindak diskriminasi masyarakat:
  • Berkarya. Dengan kekuatan yang sudah dimiliki oleh kaum waria, politik modal dan masyarakat dapat dijawab dengan menunjukkan eksistensi dalam berbagai karya nyata yang dianggap sebagai kontribusi bagi kemajuan masyarakat. Karena sesungguhnya dengan berkarya akan memperoleh penilaian obyektif di masyarakat manusia tidak lagi terpilah pilah, berdasarkan jenis kelaminnya atau berdasarkan orientasi seksualnya, sudah banyak contoh di republik tercinta ini.
  • Menunjukkan kepedulian pada isue lain. Teman-teman waria, melakukan komunikasi dan interaksi yang massif dengan masyarakat, terutama dengan menunjukkan kepedulian sosial pada kasus-kasus besar atau kecil yang dialami oleh masyarakat secara umum, contoh kasus kasus bencana alam dll.
  • Menggunakan bahasa dan logika yang mudah diterima masyarakat. Berhadapan dengan masyarakat yang reaksioner, maka dibutuhkan keluwesan karena modal sosial ierletak di masyarakat, dalam memasok kesadaran baru kepada masyarakat.

V. Penutup
Secara keseluruhan, perjuangan kaum waria akan menunjukkan kemajuan, bila memiliki landasan ideologi dalam menghadapi kekuatan modal dan masyarakat. Dibutuhkan strategi besar yang dapat diperoleh melalui kerja yang terus menerus yang melibatkan berbagai pihak, termasuk intens berhubungan dengan partai politik (hal 106) , yang terpenting konsolidasi kedalam, untuk mengukur kekuatan dalam meningkatkan posisi tawar, agar mampu memproduksi image, dan pencitraan positif yang lain,

sebuah kearifan yang mesti dipahami sebagai minoritas di republik ini, ada 2 hal yang patut dicermati, dihadapan kita terdapat tembok yang berlapis, kolaborasi antara dogma dan kultur , hindari sikap frontal dan lakukan komunikasi intensif untuk mendis integrasikan logika yang tumbuh dimasyarakat feodal, maka pandai pandailah berdiplomasi untuk mencapai sasaran yang dikehendaki dengan menciptakan KARYA NYATA tidak pernah ada kata koma dalam perjuangan, … selamat berjuang. !


Jakarta, 14 Desember 2007
**Disampaikan dalam diskusi buku “Hak Kerja Waria: Tanggungjawab Negara” yang diselenggarakan oleh Arus Pelangi dan FES Indonesia di JMC, Jakarta

Tidak ada komentar: