Sabtu, 08 Maret 2008

Perempuan sebagai agen perubahan

Geliat kita bukan kepura-puraan.
Kepedulian dan komitmen kita adalah nyata.
Kerja sekecil apapun, menjadi lebih bermakna
dari sekedar deretan kalimat dan tutur kata
yang kerap terucap dalam janji tebar pesona.
Kemarin, hari ini, dan esok, para perempuan miskin menunggu,
juga menggugat komitmen kita untuk berjuang merebut asa!



Ijinkan saya mengajak hadirin untuk menundukkan kepala, mengheningkan cipta sejenak dan mendoakan agar almarhumah Basse seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan dan seorang putranya yang telah meninggal dunia akibat kelaparan di Sulawesi Selatan, agar diterima di sisiNya, dan mungkin masih banyak lagi Basse yang lainnya di republik yang tercinta ini agar segera dibebaskan penderitaannya oleh yang Maha Kuasa dari kemiskinan dan kelaparan...., ”

Mengapa perempuan memiliki peranan strategis melakukan perubahan..? Menurut pandangan seorang filusuf politik Italia yang bernama Antonio Gramsci kekuatan civil society adalah upaya kelompok-kelompok sipil melakukan penguatan dan pengimbangan peran hegemonik negara....”

Perempuan sebagai elemen civil society memiliki tempat yang khusus dalam meletakkan dirinya mendorong demokratisasi dan melakukan upaya penyadaran kepada rakyat bahwa mereka punya hak untuk didengar oleh negara, terkait dengan berbagai kepentingan mendasar mereka yang dituangkan dalam berbagai kebijakan politik negara. Atau turut serta sebagai pengawas dalam setiap pengambilan kebijakan yang dibuat oleh lembaga politik negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Jika kita membaca dalam sejarah peradaban umat manusia, maka ada satu hal yang tak dapat dibantah oleh siapapun. Bahwa perubahan adalah sesuatu yang niscaya....” postulat tentang perubahan sebagai keniscayaan sejarah, dapat menjadi kalimat pembuka yang baik dalam mengupayakan pemahaman yang jelas tentang diskursus gerakan perempuan saat ini. Sehingga, antara wacana perubahan dan wacana kemapanan dapat dijernihkan. Tanpa harus meninggalkan salah satunya secara ekstrim dan deterministik (berpikir mekanistik).

Banyak peristiwa besar di dunia yang didahului oleh kaum perempuan. Revolusi Rusia 1917, terjadi setelah kaum perempuan miskin (para ibu) melakukan aksi turun ke jalan-jalan, memprotes dan menuntut roti dan anggur. Mereka adalah kaum ibu yang memiliki anak-anak dan suami yang bekerja sebagai buruh pertambangan yang hak-hak ekonomi-politiknya teraniaya oleh penguasa. Hingga terjadilah revolusi besar yang mempengaruhi wajah dunia. Kepeloporan kaum perempuan terus berlanjut di negara-negara lain.


Pada tahun 70-an akhir, kaum ibu yang awalnya berjumlah puluhan orang melakukan protes terhadap penguasa diktator yang telah menculik anak dan suami mereka. Dalam situasi yang sangat represif, para ibu ini menunjukkan dirinya tepat di hadapan penguasa dengan cara mengelilingi Plaza de Mayo setiap hari Jumat. Hati kaum ibu ini mampu mengalahkan rasa takut terhadap rezim diktator. Mereka berjuang dan mempengaruhi opini masyarakat. Pada akhirnya, suara-suara ini menjadi kekuatan besar yang mampu membongkar kekerasan politik di Argentina.

Dalam Revolusi Damai di Filipina pada tahun 1989, ratusan ribu penduduk turun ke jalan hingga Ferdinand Marcos dapat diturunkan dari kursi kepresidenan. Adalah Cory Aquino menjadi figur perempuan rumah tangga yang tidak terlalu dekat dengan politik didaulat oleh massa rakyat untuk tampil memimpin. Sekali lagi, perempuan menunjukkan kekuatannya ketika berada di tengah massa, memberikan sumbangan terbesar yang mereka miliki. Para ibu rumah tangga, suster/biarawati bersama aktivis partai melakukan perubahan yang mampu merubah wajah Filipina.

Bagaimana dengan gerakan perempuan di Indonesia ?

Pandangan dari aspek sosiologis, perempuan merupakan salah satu entitas (subsistem) dalam sebuah sistem sosial yang kemudian dikenal dengan sebutan negara. Perlu diingat, bahwa Indonesia merupakan sebuah negara-bangsa yang lahir karena perjuangan politik. Sehingga, paham tentang negara sebagai organisasi politik penting disadari sebagai bentuk kesadaran zaman. Urgensinya, terletak pada kesadaran konstitusional. Bahwasanya, perempuan memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara. Tidak hanya memahami diri secara normatif sebagai seorang pekerja domestik, tetapi, lebih pada sebuah kesadaran dan tanggung jawab dalam dalam setiap praktek-praktek sosialnya dalam konteks apapun. Inilah yang mesti disadari sebagai bentuk kesadaran politik perempuan.

Rasanya, kita yang berada di forum ini, merupakan saksi sekaligus korban dari sistem yang tidak adil. Tidak berlebihan bila kita mengklaim diri sebagai ’korban’, karena terlalu banyak peristiwa sosial yang terjadi sehari-hari yang merupakan jawaban bahwa perempuan di Indonesia (semua kelas sosial) sulit untuk menghindar dari praktek-praktek tidak adil dari masyarakat, negara, dan juga keluarga.

Akan tetapi, sebagaimana yang dilakukan oleh perempuan di negara-negara lain, perempuan di Indonesia memiliki kekuatan yang mampu mengisi ruang-ruang kosong yang tidak mampu diisi oleh anggota masyarakat lain. Lebih dari itu, kitapun memiliki kesamaan sejarah yang menunjukkan bahwa di tengah krisis ekonomi - politik, para ibu hadir secara fisik di tengah massa aksi dengan apa yang mereka miliki (nasi bungkus dll). Inisiatif dan komitmen yang kuat dari kaum ibu, tidak hanya ditunjukkan dalam aksi massa atau dalam antrian panjang BBM/Sembako. Keluarga korban penculikan para aktivis, yang secara vokal tampil sebagai juru bicara adalah para ibu.

Sebagaimana yang dilakukan oleh RA Kartini yang menyejarah, atau Megawati Sukarnoputri, yang juga berjuang untuk mendorong masyarakat agar berani membebaskan diri dari rasa takut (akibat hegemoni Orba yang berkolaborasi dengan kekuatan militer), meski bisik-bisik kala itu mensimplikasi Megawati ” hanyalah seorang ibu rumah tangga....”, ternyata gerakan pembebasan itu semakin mengkristal dan Megawati menjadi ikon perlawanan gerakan rakyat terhadap kekuasaan yang otoriter. Bagi Megawati (baca; perempuan), penekanan oleh negara dan masyarakat justru membuat perempuan semakin kuat. Ini artinya, perempuan secara umum, memiliki daya survive yang tinggi.

Maka tawaran alternatif yang progresif perlu menjadi perhatian, pada perjuangan perempuan dan menyadari untuk terjadinya perubahan yang berpihak pada perempuan, maka perempuan harus masuk pada wilayah politik dan merebutnya. Dalam konteks Indonesia, maka tak ada jalan lain bagi perempuan Indonesia, selain terlibat dalam setiap tahapan pemilu sejak awal, hingga pengambilan keputusan.

Berbicara gerakan perempuan, berarti kita berbicara tahapan kerja atau tahapan berjuang. Karena gerakan sosial membutuhkan prasyarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi. Menjadi keinginan yang ideal bila pembacaan terhadap potensi perempuan dan apa yang harus dilakukan hanya berhenti pada wacana atau pembicaraan semata. Artinya, kesadaran kita harus dikongkritkan dalam kerja-kerja sosial dan politik.

Pertama, sudahkah Anda mengambil peran sebagai aktivis organisasi, atau lebih kongkrit lagi menjadi anggota partai yang pro aktif bukan hanya sekedar simpatisan belaka.

Kedua, belajar membuat program yang dapat disusun secara sederhana menjembatani persoalan perempuan dengan program organisasi/partai.

Ketiga, apakah kita selalu berjaringan/bekerja sama dengan organisasi perempuan lainnya, termasuk dengan intansi pemerintah?

Kesadaran untuk berorganisasi harus ditebarkan ke seluruh perempuan. Dengan berorganisasi, maka perjuangan hak-hak yang selama ini diabaikan akan menjadi lebih terarah dan terprogram. Tanpa organisasi, kehidupan kaum perempuan tetap berjalan di tempat. Jikapun terjadi perubahan, hanya bersifat sementara dan tidak mendasar. Pemenuhan kebutuhan hidup secara layak dan manusiawi, serta perlindungan hukum tidak akan berjalan, bila tidak disertai dengan perjuangan melalui organisasi. Dengan cara inilah, kita merangkul perempuan yang berpikiran dan berkeinginan maju. Meski demikian, peran perempuan sebagai ibu dan pendidik bagi putra-putrinya di rumah juga sangat strategis dengan menciptakan metodologi yang cerdas di dalam rumah tangganya sebagai kontribusi mendorong perubahan.

Artinya, dua hal itu tidaklah harus dipertentangkan, karena gerakan perempuan pada saat-saat tertentu dapat bersinergi ke dalam gerakan politik. Contohnya adalah ketika para perempuan melakukan advokasi kepada keluarganya di meja makan misalnya, dan forum itu berubah materi tentang berbagai hal kejadian di masyarakat, misalnya tentang hak-hak buruh yang ditindas pengusaha, bahwa orang lemah harus ditolong, manusia harus mendapatkan kehidupan yang layak serta tidak boleh adanya eksploitasi atas individu oleh individu lain. Dan berbagai hal yang dapat memotivasi ”orang rumah” untuk turut serta sensitif terhadap perubahan nasib bangsa ke arah yang lebih baik .

Sebagai penutup tentu saja perempuan tidak bisa menolak globalisasi, dan propaganda konsumtif dengan gaya hidup (life style) masa kini yang ditawarkan sedikit hedonis, dan pragmatis sehingga ukuran keberhasilan sebuah keluarga di Indonesia sampai detik ini masih dinilai dari keberhasilan secara ekonomis. Komunitas yang terbangun ini bukan tanpa kesengajaan, indikasi ini semakin memperjelas bahwa kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat dan bermuara kepada tingginya angka kemiskinan, tidak berbeda dengan masyarakat yang berada dalam kemapanan secara sengaja turut andil menumbuhkan sikap apatis, individualis, dan masa bodoh di masyarakat. Karena semakin melemahnya masyarakat, akan memberi ruang yang kondusif bagi eksistensi terbentuknya pemerintahan yang FASIS.

(disampaikan dalam seminar pd tgl 01.03.08, tema analisis politik perempuan, kerjasama sekolah analisa perempuan politik dengan yayasan sajadah dan PB NU, di wisma asrama perempuan PMII Ciputat jakarta.)

Tidak ada komentar: